Catatan: Takut Gap Year!!!
Takut Gap Year!!!
Assalamu’alaikum
warrahmatullahi wabarakatuh. Salam sejahtera bagi kita semua, Shalom, Om
swastiastu, Namo buddhaya, Salam kebajikan.
Takut
gap year. Apakah itu yang ada di
benak kalian? Iya, terutama kalian yang akan lulus SMA. Sama seperti yang
pernah saya rasakan dulu. Bahkan saat pertama kali saya mengetahui kata “gap year”, saya sudah meyakinkan dalam
diri saya bahwa hal itu tidak akan pernah terjadi pada diri saya. Sebelum kita lanjut kepada pembahasan yang
lebih dalam, kita kupas dulu tentang gap
year yang sebenarnya terutama untuk anak sekolah atau pejuang pendidikan.
Maaf
saja saya mengutamakan mereka yang akan lulus SMA karena saya lulus SMA tahun
2018 dan sekarang sedang menjalani perkuliahan. Tapi istilah gap year sebenarnya bukan hanya ditunjukkan
untuk lulusan SMA saja, namun juga yang telah lulus dari suatu bidang akademik,
seperti universitas, tetapi tidak melanjutkan pendidikan dalam waktu tertentu.
Informasi tambahan, gap year sendiri
juga berarti berhenti melakukan suatu aktivitas yang biasa dikerjakan untuk
beristirahat dalam waktu tertentu, dan pastinya akan kembali pada aktivitas
tersebut, mirip-mirip sama hiatus.
Namun hiatus biasa digunakan untuk
aktivitas di luar akademik seperti pekerjaan. ”Waktu” itu sendiri sangat
bervariasi, tergantung dari keadaan yang ada. Misalnya seperti saya sendiri,
lulus SMA tahun 2018 lalu karena tahun ajaran baru diadakan tahun depan, 2019,
maka saya akan mencoba masuk ke universitas pada tahun 2019. Gap year sendiri dapat direncanakan jauh
hari dan/atau dapat juga direncanakan secara mendadak. Bagaimana bisa seperti
itu?
Sama
seperti apa yang sudah saya tulis di paragraf awal, saya memastikan diri saya
untuk tidak akan pernah mendapatkan gap
year. Saya rasa saya telah tumbuh di lungkungan yang baik, seperti diterima
di sekolah favorite dan berada di
kelas yang solid dengan tingkat sitrap yang tinggi. Sitrap adalah istilah yang
digunakan untuk anak-anak yang mengaku ketika di rumah atau akan ada ulangan
harian tidak pernah belajar namun mendapatkan nilai bagus. Saya sadar hal-hal
itu bukanlah satu jaminan untuk masa depan, karena bagaimanapun juga lingkungan
memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan mental anak. Apalagi usia SMA
adalah masa kritis dengan jati diri yang mudah goyah. Hal itu membuktikan saya
telah merencakan untuk tidak gap year
jauh hari sebelum hari kelulusan. Imajinasi saya, setelah lulus SMA pasti
lanjut kuliah di perguruan tinggi yang favorite
dengan jurusan Kedokteran.
Semangat
pasti selalu ada. Menolak lupa, manusia memiliki masa up and down, dimana ujian hati akan ada. Saya bukanlah seseorang
yang pintar. Bahkan ketika saya masuk SMA, rasanya murid juara 1 di SMP saya
terduplikat di sana. Waktu SMA merupakan pertama kalinya saya bersekolah di
luar kota, jauh dari keluarga, dan pastinya nge-kos. Alasan saya memilih
sekolah di luar kota adalah, saya ingin terus melihat keluar jendela. Jika saya
melanjutkan SMA di kota saya, saya akan bertemu dengan saingan yang sama. Saya
pikir dengan bertemunya suasana baru dan saingan yang baru akan memberikan
pengalaman yang bagus untuk perkembangan akademik saya. Ternyata perencanaan
itu tidak selalu dalam lingkaran pikiran saya. Saya termasuk ke dalam jajaran
murid yang sering mendapatkan remidi walau saya pernah mendapatkan nilai
sempurna, tapi saya rasa itu hanya keberuntungan karena saya termotivasi untuk
belajar dan mata pelaran itu tidak terlalu rumit.
Akhir
tahun di SMA adalah masa penat yang pernah saya rasakan. Kepenatan itu terus
berkumpul menjadi satu sehingga saya tidak bisa fokus dengan baik. Saya bahkan
tidak bisa memilih mata pelajaran yang diprioritaskan untuk belajar, saya
selalu mengikuti apa yang saya sukai dan dapat menerimanya dengan baik. Namun
karena tuntutan SBMPTN dengan 4 mata pelajaran sains, saya harus belajar materi
yang tidak saya suka, yaitu fisika. Saya tidak ada masalah dengan mata
pelajaran ini sewaktu SMP. Malah saat SMP tidak ada masalah dalam mata
pelajaran apapun. Namun, berbeda dengan sewaktu SMA, semua mata pelajaran
mengalir begitu cepat. Hingga saya tidak dapat mengikuti arusnya dengan baik.
Saat itu, saya juga tidak mengikuti bimbel karena saya tidak mampu membayar
bimbel-bimbel yang menjanjikan. Kenapa tidak belajar di aplikasi? Saya memiliki dan menggunakan smartphone pada tanggal 20 Agustus 2017.
Itu adalah pertama kalinya bagi saya dan sampai sekarang saya masih menggunakan
gadget yang sama. Xiaomi redmi 4A.
Mungkin
belum terlambat bagi saya untuk membeli paket bimbel lewat smartphone dengan jangkauan yang lebih murah, katanya. Namun waktu
itu bukan hanya waktu krisis mental tetapi juga ekonomi. Kos menunggak dan
keluarga dalam situasi yang berantakan. Saya tidak dapat berpikir dengan jernih
untuk bisa fokus seperti teman-teman yang lain. Untungnya, saya masih memiliki laptop
yang bisa saya gunakan untuk men-download
video-video yang ada di Youtube. Hampir setiap hari saya pulang malam hingga
selepas isya’ hanya untuk menikmati wifi sekolah. Tentunya saya gunakan untuk
belajar lewat internet. Namun ketika saya tertekan saya pernah wifi-an sampai
tidak belajar hanya untuk menonton Youtube. Macam-macam seperti reality show Korea, video bahasa
inggris, hingga men-download
lagu-lagu. Tapi sayang laptop itu tidak bertahan lama. Saya tidak tahu apa yang
ada dipikiran ayah saya waktu itu, untuk menghentikan kenakalan kakak saya yang
sering menggunakan laptop tersebut dengan tidak baik, beliau membanting laptop
yang setengah error itu dengan cuma-cuma. Saya juga terkadang belajar dengan
teman-teman yang lebih tahu. Entah kenapa saya tidak dapat mempertahankan lama
ilmu itu. Setelah usai sekolah saya masih paham, namun saat soal itu berubah
dengan cara yang sedikit berbeda, saya selalu bingung.
Ada
waktu dimana saya sangat bersyukur dengan keadaan saya yang mungkin tidak
pernah dirasakan oleh teman-teman saya. Saya ingat di saat ayah saya pernah
memasukkan saya ke bimbel bergengsi, GO. Setelah menerangkan materi kebanyakan
murdi-murid GO memotret papan tulis. Apapun catatan kecil di jam tambahan
memotret dengan HP lalu disalin di rumah. Waktu itu saya berada di kelas 2,
ketika saya memiliki HP jadul yang bisa digunakan untuk memotret namun saya
malu untuk menunjukkan kepada orang-orang karena mayoritas memiliki HP berlayar
lebar dan bisa untuk video call. Atas
kegengsian saya waktu itu, saya rela untuk menulis semua materi yang telah
diajarkan secepat mungkin dan selengkap mungkin untuk mengisi catatan saya.
Tidak hanya di bimbel, namun juga di sekolahan.
Begitulah dimana keadaan ekonomi saya belum kanker, alias kantong
kering. Kehidupan yang penuh dengan gengsi.
Ketika
mendekati masa-masa UN, banyak sekali teman-teman yang mengaku stress
menghadapi apa yang ada waktu itu. Beberapa dari mereka mengaku sudah mulai pasrah
dengan keadaan. Pasti saja banyak dari mereka yang tidak terbuka untuk masalah
jurusan dan universitas. Walau ada edu-expo
(pameran pendidikan dari alumni yang sudah mendapatkan universitas) tiap
tahunnya, seperti tidak membuka diri saya untuk menentukan jurusan realistis
selain kedokteran. Semangat saya juga sudah luntur tapi angan-angan untuk
mendapatkan gelar dokter masih tertanam kuat. Hanya angan-angan. Saya selalu
takut akan masa depan yang tidak jelas, seperti tidak mendapatkan pekerjaan
yang tetap dan pasti. Secara logika lulusan fakulas kedokteran pasti menjadi
dokter dan itu pasti. Kenapa tidak perawat? Pasti akan menjadi perawat. Itu
tadi, saya tidak punya pilihan yang lain selain kedokteran. Hingga saat akan
menghadapi SBMPTN, saya kembali terbawa arus.
Hidup
di SMA favorite adalah ujian yang
berat. Gengsi tinggi, persaingan ketat, dan pastinya kriteria jurusan dan
universitas yang tinggi. Mungkin awalnya merasa keren mendapatkan sekolah favorite. Namun di samping itu, tanggung
jawab sangat besar untuk melewati arus deras. Saya terus berpikir positif untuk
melewatinya dengan menganggap semuanya terlihat mudah walaupun orang-orang
berkata sangat sulit. Semua pikiran positif itu terus mengarah ke hal-hal yang nyepeleke. Apa itu? Hal-hal dimana saya
berpikir tidak belajar dan hanya memperhatikan dengan sungguh-sungguh di kelas,
akan bisa menghadapai ulangan. Akhirnya tidak review materi yang sebelumnya. Review
pun pasti beberapa menit sebelum
ulangan. Sungguh ironis perjuangan SMA. Jika me-review keadaan ini, semua itu salah saya. Namun keadaan dulu saya
menyalahkan teman-teman saya, karena yang mengaku kekeluargaan tetapi ada egois
untuk menjalankan semuanya sendiri. Apalagi "hobi" membandingkan nilai setelah ulangan harian maupun semester. Tidak ada teman sepermainan yang saling
mengajak untuk belajar. Kecuali kelompok belajar yang fokus kepada pelajaran
kimia untuk UN di kelas saya. Kami mengadakan kelompok belajar setiap minggu.
Itu terus terjadi sampai SBMPTN. Tidak ada persiapan intensif yang saya punya.
Ketika teman-teman melihat saya adalah sosok yang rajin dalam belajar, jujur
saya sedang menghadapi kebingungan yang hebat dalam menghadapi materi yang saya
pelajari.
Saya
tidak dapat menangis karena materi. Namun ada satu waktu saat kelas 2 saya
menangis karena tidak dapat paham materi tersebut, di depan beberapa teman
saya. Saya menangis setalah pengumuman SBMPTN. Ketika melihat group kelas yang saling bertanya hasil
SBMPTN. Beberapa teman yang hanya silent
reader diduga tidak lulus SBMPTN. Masih ada jalur mandiri dan PTS. Jalur
mandiri sudah saya tempuh dengan memilih UGM. Banyak teman-teman saya yang
diterima di kampus nomer 1 itu. Tapi bukan berarti kemampuan saya sama seperti
mereka. Lagi-lagi mencoba kedokteran. Lalu pilihan lainnya adalah teknik, sama
seperti yang diambil teman-teman saya. Di mata saya tidak ada juruan yang keren
selain kedokteran dan teknik. Begitupun yang saya ambil saat SBMPTN.
Hingga
akhirnya apa yang saya takutkan tejadi. Saya tidak dapat lanjut ke universitas
tahun itu. Bagaimana dengan PTS? Awal semester 2 kelas 3 SMA, saya sudah
diterima di dua PTS bergengsi yaitu Telkom University (Teknik Informatika) dan
President University (HI) lewat jalur prestasi nilai rapot. Namun ibu saya
menyarankan untuk PTN, karena walau dapat beasiswa parsial dari PTS, tetap saja
mahal. Saya hanya bisa menangis dan meratapi nasib saya. Waktu itu saya juga
tidak dapat melanjutkan ke PTS karena ayah yang seorang wiraswasta dengan
penghasilan tidak tetap, tidak dapat menjanjikan uang untuk pendidikan. Sekolah
favorit tidak menjanjikan untuk masa depan. Masa depan pastinya ditentukan
dengan usaha yang sudah kita pilih sekarang. Semangat saya untuk terus belajar
lebih tinggi tentunya tidak sirna, walaupun kakak laki-laki saya menekan saya
untuk bekerja mengumpulkan uang untuk kuliah. Pikiran saya memang tidak sejalan
dengan pikirannya yang belum dewasa itu.
Saya
pun bekerja di beberapa tempat. Mungkin karena saya anak manja yang tak pernah
menerima bentakkan dari orang lain, rasa tress paska SBMPTN menjadikan saya down. Saya piker saya bukanlah anak
manja yang selalu ada di ketek ibu. Saya cukup organisatoris, tetapi tergantung
dengan rekan yang saya dapat. Ketika rekan itu menghargai saya, maka akan saya
hargai. Seperti orang pada umumnya. Mungkin di pekerjaan itu memang sedikit
bermasalah di pemilik sehingga mental saya benar-benar terganggu. Saya
bersyukur saya menjadi anak yang kuat karena saya bisa lolos dari bunuh diri.
Waktu itu saya pernah menghentikan nafas saya dengan menutup saluran hidung dan
mulut di kamar. Karena suara tawa keluarga yang sedang menonton TV, saya sadar
akan hidup di dunia ini saya memiliki misi yang harus diselesaikan. Saya merasa
malu dengan diri saya sendiri yang tidak dapat menggunakan kesempatan dengan
baik, menimba pendidikan di tempat yang baik. Impian saya untuk tetap belajar
akhirnya masih diberikan oleh Allah di tempat yang baik, bukan belajar di
tempat kasar. Ayah saya, walaupun beliau payah sekarang, tetap menekan saya
untuk belajar terus supaya tidak menjadi orang yang biasa-biasa saja. Saya
menyelesaikan gap year yang bermakna
di Pare melalui jalur beasiswa Teaching Clinic.
Saya
tidak dapat menyamakan peristiwa yang telah saya alami kepada kawan-kawan
semua. Saya yakin, jalan yang telah terjadi kepada kita adalah jalan yang
terbaik. Untuk saat ini, kepada para pembaca khususnya yang akan menempuh
kejenjang pendidikan yang lebih tinggal, yang telah melewati masa SMA, apakah
anda sudah menemukan jawaban? Apakah kalian sudah menemukan jurusan dan kampus
yang tepat? Saya harap anda mendapatkan jawaban itu. Jika anda masih terlalu
bingung dengan masa depan yang terlalu rumit, pikirkanlah apa yang sudah ada di
depan mata.
Tidak
perlu mengkhawatirkan masa depan yang belum nyata. Hal terpenting adalah diri
anda yang sekarang. Dulu saya sangat berpikir keras tentang hal itu,
sampai-sampai saya tidak dapat menentukan pilihan yang pasti. Hanya ada
kekhawatiran yang terus menghujani pikiran saya. Saya pikir itu sangat tidak
baik. Apakah anda masih terlalu takut dengan gap year? Mungkin banyak yang berpikir gap year adalah suatu hal yang buruk. Saya pernah berpikir gap year adalah sesuatu hal yang
memalukan. Karena apa? Orang-orang akan bertanya kepada saya, apa yang telah
saya lakukan saat SMA sehingga tidak dapat mendapatkan universitas. Orang-orang
akan berpikir bahwa saya merupakan orang yang tidak pintar sehingga tidak
pernah memperhatikan pelajaran dengan baik. Bahkan mungkin, orang-orang akan
berpikir saya adalah orang idiot yang tidak dapat menerima pelajaran tingkat
tinggi.
Gap year
adalah suatu hal yang memalukan bagi saya, karena saya telah menyandang sekolah
favorite dan saya bersekolah di luar
kota. Gap year merupakan sesuatu yang
tidak keren, karena saya akan tertinggal dari teman-teman saya yang lain.
Tentunya mereka akan lulus kuliah lebih cepat dari pada saya dan mendapatkan
pekerjaan lebih baik dari pada saya. Apalagi saya menyandang nama orang tua dan
nama besar sekolah favorite.
Hal-hal
bodoh itu saya dapatkan dari semua kekhawatiran saya tentang masa depan. Itu
karena kepala saya selalu mendangak ke atas sehingga otak saya mumbul[1]
terlalu jauh. Itulah yang dinamakan tidak bersyukur. Saya harap jika anda
sekarang memiliki masalah yang sama seperti saya, semoga dengan tulisan saya
ini, kepala anda dapat kembali normal, tidak ndangak[2]
dan tidak nengkluk[3].
Anda harus sadar bahwa kehidupan itu tidak hanya di khayangan, tetapi juga ada
yang di bumi. Artinya boleh saja mematok tujuan anda setinggi-tinggi, namun
juga harus tahu batasan diri anda dan jadikan kehidupan yang kurang beruntung di
bawah anda untuk bersyukur.
Jujur
saja, SMA saya menyediakan pelayanan konsultasi BK (Bimbingan Konseling) untuk
penentuan jurusan. Bahkan beberapa guru saya menekankan kepada anak kelas 12
untuk sadar diri. Ya kalau memiliki kemampuan pas-pas-an tidak perlu ngotot
untuk kedokteran. Tapi angan-angan semangat saya waktu itu, seperti beyond the imagination. Tidak ada hal
yang tidak mungkin di dunia ini. Segala sesuatu dapat dicapai dengan usaha yang
maksimal. Bahkan saya terus menebarkan semangat dalam darah saya untuk menjadi
alumni yang dapat memotivasi, dengan menjadi alumni yang memiliki nilai
pas-pas-an dapat kuliah kedokteran. Saya pikir usaha saya dulu belumlah usaha
yang maksimal.
Well,
untuk teman-teman pembaca. Saya rasa anda sudah tahu lingkaran kehidupan saya
saat SMA. Kurang lebih seperti itu. Jika dalam diri anda masih terdapat
angan-angan sekolah favorite menjamin
masa depan, hentikan pikiran itu. Jika anda masih berpikir bahwa gap year itu adalah aib, bukalah pikiran
anda kembali. Jika anda masih takut gap
year, cobalah berpikir realistik dengan kehidupan anda yang sekarang. Sekolah
favorite itu baik. Sangat-sangat
baik. Saya mengakuinya, linkungan semangat belajar yang tinggi dengan
orang-orang yang berkompeten, membuat pola hidup berbeda dengan yang lain. Tentunya
harus diambil yang bagian positif, terutama untuk semangat akademik dan motivas
belajar. Bahkan teman-teman yang baik dan “menghargai”. Jika sekolah favorite hanya menghantarkan pada gengsi,
mungkin lingkaran bermain anda salah, maka anda harus membuka pertemanan dengan
yang lain atau mencoba menyadarkan diri anda sesuai dengan keadaan ekonomi dan
tujuan anda. Motivasi saya untuk terus bersekolah di sekolah favorite adalah lingkungannya baik dan
motivasi semangat belajar yang tinggi.
Namun
gap year yang dulu saya pernah pikir
sebagai aib, itu salah besar. Gap year
mengajarkan sesuatu berharga yang tidak pernah saya temukan di SMA pastinya. untuk
menemukan kesan gap year, pasti
berbeda-beda. Saya mendapatkan beasiswa di kampung inggris Pare selama 10
bulan. Dari situlah, saya berbaur dengan
lintas usia. Ketika saya SMA hanya nyaman dengan usia sepermainan, sekarang
saya nyaman dengan orang-orang yang umurnya 3 atau 4 tahun di atas saya. Dari situlah,
saya merasa dihargai kemampuan saya dalam berpikir dan bertindak. Mungkin di
dalam lingkup beasiswa itu terdapat anak-anak seusia saya, tapi kami sama-sama
merasa dalam lingkup yang sama. Mungkin dari apa yang diharapkan oleh anak-anak
gap year adalah pengakuan dan
pengharagaan atas apa yang telah diperjuangkan. Saya menjadi lebih bisa
menghargai diri saya sendiri juga orang lain. Mungkin karena persaingan
akademis yang kuat di SMA dapat menimbulkan masalah hati yang tidak dapat
diungkapkan. Walaupun dalam lingkup beasiswa Pare ini, mungkin juga terdapat
persaingan akademis, setidaknya yang dewasa mengerti yang muda, begitupun
sebaliknya. Mungkin teman sekamar saya akan menyemangati dan terus mengerti
hati saya. Begitupun saya terhadap mereka. Suasana kebersamaan lingkup itu akan
terus mengajarkan sesuatu.
Itu
adalah salah satu contoh dari takut gap
year menjadi bersyukur karena gap
year. Lingkungan untuk gap year bukan hanya di Pare. Mungkin anda bisa
menemukan jalan yang lain. Setidaknya percayalah kepada Allah. Jangan hilang
harapan kepada-Nya. Ketika saya pernah hilang harapan, Allah selalu memberikan
harapan yang tak disangka-sangka. Salah satunya adalah beasiswa Teaching Clinic
yang saya dapatkan saat penantian terakhir UTUL UGM 2018. Saya rasa, banyak
anak-anak yang akan merasa malu dan hilang harapan ketika terpaksa untuk gap year, padahal dia sudah mencoba. Tapi
coba percayalah, bahwa anda tidak sendiri. Seperti apa yang sudah saya tulis di
atas, kepala anda harus stabil, tidak mendangk dan tidak nengkluk. Juga pastinya
terus percaya bahwa Allah akan menghibur hambanya yang merasa putus asa, karena
Allah sangat amat dekat dengan hambanya.
Ingat!
Gap year itu tidak buruk, bukan aib,
dan bukan hal yang memalukan. Gap year
juga merupakan salah satu cara dari anda untuk lebih siap terhadap tujuan anda.
Contohnya seperti adik teman saya, yang sengaja gap year untuk mempersiapkan kedokteran di tahun depan, padahal dia
sudah diterima di teknik informatika Universitas Brawijaya. Saya pun juga
begitu, ketika saya mulai kuliah, saya sudah bisa merencanakan apa yang akan
saya lakukan untuk semester awal dan tentunya motivasi untuk belajar lebih
tinggi dari pada sewaktu SMA. Bahkan gap
year juga mengajarkan untuk memiliki pendirian yang teguh, alias “ga ikut-ikutan”. Hidup adalah pilihan. Mungkin
saran saya adalah dengan membuka diri anda seluas-luasnya bahwa jurusan bukan
hanya teknik, kedokteran, HI, dan Hukum. Begitupun kampus, yang bukan hanya UI;
UGM; UNS; UB; UNAIR; ITS; IPB; ITB; UNPAD; UNEJ; dan UNDIP. Sama seperti apa
yang sudah kakak kelas saya katakan sebelum saya lulus SMA, namun pada saat itu
saya memag tidak srek[4]
dengan saran beliau, “Semua kampus dan jurusan itu baik. Karena negeri ini mengizinkan
kampus dan jurusan ini berdiri, pasti mereka memiliki tujuan yang sama untuk
negeri ini yaitu membangun negeri menjadi lebih baik.”
In
syaa Allah, semua mahasiswa akan berguna untuk negeri ini dengan jalan mereka
masing-masing. Ingat! Tergantung dari usaha dan pribadi orang tersebut. Bukan karena
jurusan atau kampus (sekolah) yang favorite.
Walaupun anda tidak dapat yang favorite
setidaknya dapat pula memilih sekolah yang masih memiliki lingkungan belajar
yang bagus. Yang bagaimana? Lingkungan yang memiliki mutu pendidikan yang baik,
dan masyakarat yang menggerakkan lingkungan tersebut pun baik.
Komentar
Posting Komentar